Di antara Pendekatan-pendekatan pedagogis ini menuntut pengalaman "multi cara (multimodal)", latihan yang banyak menggunakan mata-telinga-tangan dan mendorong pembelajar (learner) untuk sebanyak mungkin menggunakan saluran-saluran pengolahan informasi: penglihatan, pendengaran, kinestetis; menggambar, bercerita, berperan dan menirukan; berkhayal, berdiskusi, menggerakkan dan menggunakannya dalam latihan menerjemah.
Dan yang berikutnya, artikel ini memadukan teori dan praktek penerjemahan dengan cara-cara eksperiensial (lewat pengalaman). Artikel ini berusaha menjembatani perkembangan-perkembangan baru yang menggairahkan dalam teori penerjemahan dengan begitu banyaknya dunia penerjemahan profesional praktis yang relatif belum diteliti. Artikel selanjutnya nanti akan dikemukakan serangkaian tinjauan terpadu tentang berbagai pendekatan teoritis terhadap penerjemahan: pendekatan psikologis pada postingan berikutnya, pendekatan terminologis, pendekatan linguistis, pendekatan sosiologis, dan pendekatan kebudayaan. Pokok pikiran dari keseluruhan tinjauan ini adalah tidak ada pendekatan teoritis tunggal yang "benar" atau "bermanfaat" terhadap penerjemahan. Sebaliknya, setiap pembelajar dapat belajar untuk mengambil apapun dari berbagai jenis pendekatan teoritis tersebut yang menurutnya bermanfaat. Pendekatan-pendekatan teoritis disini disajikan secara agak skematis, namun cukup baik dan lengkap.
Model yang mendasari penggabungan praktek dan teori disajikan secara singkat model tersebut meminjam beberapa konsep filosof Amerika, Charles Sanders Peirce, untuk membahas cara-cara yang ditempuh penerjemah dalam mengubah pengalaman baru menjadi kebiasaan atau "kebiasaan bawah sadar (second naturey". Pengalaman baru bersifat "deduktif" atau didasarkan pada menebak nebak (guesswork), serta lompatan intuitif dan kreatif; "induktif" atau didasarkan pada pola-pola kerja yang sudah tetap; "deduktif" atau didasarkan pada kaidah, aturan, hukum, teori. Kunci untuk menggabungkan ketiga proses "deduktif" tersebut dengan memahami bahwa ketiga-tiganya merupakan bentuk pengalaman. Penerjemah menggunakan ketiga proses itu (menebak-nebak, praktik, dan kaidah) dalam menghadapi situasi baru, dan juga mengubah apa yang dipelajarinya dalam situasi baru itu menjadi pengolahan secara "kebiasaan" atau "naluriah". Semakin penerjemah mampu bekerja secara "tanpa-sadar" atau "kebiasaan", semakin cepat ia mampu menerjemah. Namun, penerjemahan bawah sadar itu sendiri berlangsung menurut gerakan produktif kumparan bolak-balik dengan pengalaman analisis secara sadar, pengolahan situasi baru yang menuntut kesiapsiagaan kesadaran, sehingga dapat menghasilkan perubahan dan perkembangan.