Antara Kaidah dan Pengalaman Penerjemah

Tidak ada yang salah dengan kaidah-kaidah terjemahan, kaidah ilmu bahasa, tetapi kaidah-kaidah terjemahan hanya mengaktifkan beberapa area terbatas pada otak. Bila dijelaskan lewat cerita mengenai pengalaman pembicara atau orang lain, kaidah kaidah itu tak hanya mengaktifkan area-area baru di dalam otak pendengarnya, melainkan juga mengilhami pendengar agar membayangkan kejadian-kejadian yang sama dengan pengalamannya sendiri sebagai penerjemah. Kegiatan membayangkan ini juga mengaktifkan banyak sekali simpul saraf baru.

Dari sudut pandang terjemahan naskah, aturannya demikian: semakin banyak kekhususan dan keanekaragaman, semakin baik. Susunan kata yang terus berulang, umum, dan tidak jelas akan selalu kurang menarik bila dibandingkan susunan kata yang spesifik, detail, dan memberikan kejutan.

Relevansi sangat terkait dengan pentingnya memperjelas pernyataan-pernyataan umum lewat pengamatan, contoh, dan cerita detail, Otak merupakan penganut pragmatisme yang tidak kenal kasihan. Karena dihadapkan pada jutaan stimuli lebih dari yang mampu diprosesnya, otak harus menyaring hal-hal yang dianggap tidak relevan dengan kebutuhan. Terkadang otak terpaksa membuang stimuli yang paling menarik sekalipun, karena bertumpang-tindih dengan stimuli yang lebih relevan dan harus ditangani lebih dulu. Pembaca dan penulis serta penerjemah yang berusaha mendekatkan diri dengan pengalaman pendengar dan pembaca serta penerjemah, kerap dituduh "mencari muka" di depan mereka oleh penganut tradisionalis. Para penganut tradisionalis berpendapat, jauh lebih baik jika suatu persoalan disajikan dalam bentuk yang paling logis, sistematis, objektif, dan biarkan pendengar atau pembaca serta penerjemah yang mencari relevansi persoalan itu dengan dirinya sendiri. Bagi para ahli yang sudah melewatkan tahun demi tahun untuk menangani suatu masalah, cara itu memang berhasil mempertemukan relevansi suatu persoalan dengan kehidupan mereka, tetapi sama sekali tidak manjur bagi para pemula yang tidak paham apa sangkut-pautnya cara itu dengan pengalaman mereka, bahkan dengan pengalaman menerjemah.

Kaidah menerjemah itu penting sebagai alat untuk membelah dan mengurai, sementara pengalaman pribadi penerjemah juga sangat mendukung bagi seorang penerjemah. Dan dalam praktiknya kedua sumber ini tidak pernah bertentangan satu sama lain, yang ada justeru saling memeperkuat sebagai satu kesatuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *