Paruh kedua dari diktat ini adalah memadukan sejumlah teori penerjemahan yang berbeda-beda. Khususnya teori penerjemahan linguistik, fungsional, deskriptif, dan pascakolonial-menjadi suatu pendekatan eksperiensial (berdasarkan pengalaman) untuk menjadi seorang penerjemah dengan cara membantu calon penerjemah mengalami tahap-tahap yang dilalui seorang teoritikus dalam memperoleh sebuah teori, atau dengan cara menyuruh calon penerjemah menggambar-ulang dan memikirkan kembali diagram-diagram utama untuk menampung kondisi kondisi dunia nyata yang berbeda-beda.
Semua orang punya teori sendiri; ini juga kecakapan penting bagi penerjemah. Banyak calon penerjemah jemu dengan teori penerjemahan, khususnya teori yang disajikan di buku, artikel, dan banyak perkuliahan karena teori tersebut cenderung ditampilkan dengan "kesempurnaan" yang bertentangan dengan proses pembentukan makna yang berlangsung tanpa henti di dunia ini.
Sang teoritikus telah menjalani serangkaian tahap rumit yang menghasilkan suatu rumusan pola cemerlang, tetapi bagi orang lain, terutama calon penerjemah-calon penerjemah yang belum punya pengalaman luas dalam dunia penerjemahan profesional, pola-pola abstrak itu sulit untuk "diterjemahkan" ke dalam aplikasi praktis, khususnya untuk strategi-strategi pemecahan masalah. Yang menakjubkan dari kegiatan mempolakan secara visual atau verbal masalah-masalah kompleks adalah perasaan bahwa segala sesuatunya menjadi "terkotak-kotak", "cocok", dan "akhir nya masuk akal".
Anda sudah berkutat dengan masalah itu selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun ini, tahun, dan akhirnya semuanya mulai terfokus. Namun, bila disajikan hanya sebagai hasil akhir dari proses calon penerjemah tidak mendapatkan akses menuju perasaan takjub tersebut. Segala sesuatunya hanya terlihat "terkotak-kotak" seperti di dalam kurungan. Dalam pengertian ini, bagi calon penerjemah, penyusunan teori penerjemahan sebagai objek statis yang harus dipelajari dan diketahui lebih penting daripada teori penerjemahan.
Anak-anak didik kita harus menjadi teori tikus itu sendiri - bukan sekedar murid teori. Ini tidak berarti mereka harus menghasilkan terminologi teori yang susah dipahami atau sanggup menyitir Plato, Aristoteles, Kant, Hegel, Benjamin, Heidegger, dan Derrida. Artinya, mereka harus menjadi semakin senang berpikir secara kompleks tentang kegiatan mereka, baik untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam memecahkan masalah, maupun untuk mempertahankan keputusan ke penerjemahan mereka di depan agen, klien, atau penyunting yang meng kritik mereka.